KORANJURI.COM-Pengembangan Pariwisata di Kota Solo selama satu dekade di anggap mandeg di tengah jalan. Meski Dinas Pariwisata selaku instansi yang berwenang mengembangkan potensi pariwisata telah menempuh berbagai upaya menambah destinasi wisata melalui event budaya, tetapi faktanya, Pariwisata di Kota Solo masih kalah jauh jika di bandingkan dengan Jogja, Hal ini di kemukakan oleh Ketua Komunitas Pariwisata Kota Solo, BRMH. Kusuma Putra, SH.MH.
Menurut Kusuma, branding Solo sebagai kota Budaya adalah modal dasar yang dimiliki oleh Pemkot Solo, agar lebih giat lagi mengembangkan sector Pariwisata. Hanya saja tegasnya, pengembangan sector wisata harus tepat dan selaras dengan misi visi kota Solo sebagai kota bisnis dan budaya.
Selama ini dia memandang, pengembangan sector wisata hanya berkutat pada event budaya kirab. Padahal sebuah destinasy wisata akan maju dan menarik kunjungan jika terdapat sector yang memiliki daya tarik.
‘Seperti Malioboro di Jogjakarta. Pasar wisata dan budaya tersebut memiliki magnit bagi wisatawan berkunjung ke Jogja ‘ Katanya mencontohkan
Di tambahkan oleh Kusuma, dari Malioboro para wisatawan bisa berkunjung ke destinasi lainya.
Di kota Solo kata Kusuma, memiliki pasar Triwindu dan Ngarsopura yang bisa di kembangkan sebagai pasar wisata penopang utama destinasi wisata budaya seperti Malioboro. Hanya saja perlu di kemas dan di tambah lagi pasar souvenir dan kebutuhan lain yang mencerminkan budaya Solo dalam satu lokasi yang saling bersinergi.
Selain mengembangkan Malioboro ala Solo, pengembangan wisata religi seperti makam Ki Gede Solo, Pasarean Nayu, Makam Putri Cempo dan kawasan religi lainya di rasa cukup menjanjikan bagi pengembangan wisata dan PAD di Kota Solo.
‘ Dengan adanya destinasi wisata berbasis bisnis ekonomi kreatif dan wisata religi, secara otomatis kunjungan wisata budaya dan heritage akan meningkat’ Tegasnya
Pasar budaya setiap hari harus buka, tidak seperti di Ngarsopura yang hanya buka pada malam Minggu saja. Para pedagang di Ngarsopura tidak akan memperoleh hasil jika mereka berdagang hanya sekali dalam seminggu, itupun hanya beberapa jam saja. Akibatnya biaya yang sudah mereka keluarkan tidak sepadan dengan hasilnya.
‘Saat ini mereka hanya meramaikan Ngarsopura, bukan sebagai tempat untuk mencari untung’ Terang Kusuma prihatin .
Pengembangang pariwisata tidak hanya di kawasan Ngarsopura, kawasan kuliner Galabo juga bisa di kembangkan untuk pasar wisata. Kawasan Galabo saat ini ibarat hidup enggan mati tak mau. Dari total ratusan pedagang pernah yang berjualan di Galabo, sekarang hanya tersisa puluhan pedagang saja, itupun para pedagang yang sudah memiliki penghasilan tetap berjualan di tempat lain.
Selain menyorot pusat jajan kuliner malam Galabo, Kusuma juga menyorot citywalk di jalur selatan Jalan protokol Slamet Riyadi dari Purwosari hingga bundaran Gladag yang tidak maksimal fungsi kegunaanya. Ia beranggapan, citywalk justru menghambat jasa bisnis di kota Solo. Sebelum di buat citywalk, jalur lambat di sisi selatan jalan Slamet Riyadi dipakai sebagai jasa perdagangan dan bisnis. Tetapi sejak di jadikan citywalk, lambat laun mereka mulai gulung tikar. Selain itu harga tanah turut terjun bebas.
‘Dengan tidak berfungsinya jasa perdagangan maka akan terjadi pengangguran, sekaligus mengurangi pendapatan asli daerah. Para pemilik usaha memilih pindah di tempat lain. Selain usaha mereka yang semakin sepi, ruang parkir bagi para pedangan juga tidak ada. Karena jika nekad parkir di sepanjang lajur citywalk kendaraan mereka akan digembok ’ Jelasnya
Kusuma menambahkan penjelasanya, Pemkot Solo sebagai penentu kebijakan terkesan asal asalan mengembangkan sektor wisata, terbukti lebih dari satu dekade pariwisata di Kota Solo hanya stagnan. Justru banyak destinasi yang semakin suram seperti Jurug, Wayang Orang Sriwedari, Balekambang, Triwindu dan lainya.
Ia menilai anggaran pengembangan sektor pariwisata tahun 2016 masih sangat minim sekali, jika mengacu pada misi dan visi Kota Solo sebagai kota bisnis berbasis jasa usaha pariwisata dan budaya. Resapan anggaran tahun 2016 yang sepenuhnya belum maksimal bisa di tingkatkan dan lebih di utamakan ke sektor pariwisata, atas kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif sebagai penentu kebijakan dan fungsi kontrol sekaligus anggaran.
Kusuma berharap, Pemerintah Kota Solo bisa memetakan kawasan bisnis dan wisata, sehingga regulasi pengembangan pariwisata tidak bertabrakan dengan kawasan bisnis. Berkaca pada jasa perdagangan di sepanjang jalur citywalk yang semakin suram, sesuram suasana malam di sepanjang jalur citywalk.
‘ Jika bisa di benahi Pemkot Solo harus menata ulang fungsi citywalk, jika tidak banyak manfaat yang di dapat dari sector wisata lebih baik di bongkar saja. Karena kawasan jalur selatan Slamet Riyadi sebanarnya adalah lajur bisnis perdagangan dan jasa usaha.’ Pungkasnya. /jk