KORANJURI.COM-Usai merampungkan puasa selama bulan suci ramadhan, seluruh umat muslim akan merayakan hari kemenangan tersebut dengan cara merayakanya di hari raya Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal. Dalam rangka memperingati hari raya Idul Fitri di tanah air, ada sebuah tradisi berbeda yang tidak bisa di tinggalkan oleh masyarakat kita yaitu, ‘Halal bi Halal’.
Secara umum tradisi ini memang sudah ada sejak jaman dahulu, semasa perkembangan siar Islam para wali sampai dengan perkembangan era Mataram Islam di tanah Jawa. Meski tata cara mereka yang membedakan, namun esensi nya sama, yakni saling bermaaf maaf’an.
Di era revolusi, tradisi Halal bi Halal secara otomatis memang surut, karena rakyat harus berperang melawan kolonialisme. Namun pasca perang revolusi di jaman Presiden Bung Karno, tradisi bermaaf – maaf’an di gagas kembali oleh KH.Wahab Chasbullah dengan istilah ‘ Halal bi Halal’.
Seperti di lansir dari halaman sarkub.com, usai Indonesia merdeka di landa gejala disintegrasi bangsa. Pada waktu itu para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya pemberontakan DI/TII, PKI Madiun.
Tahun 1948 dipertengahan bulan Ramadhan, Presiden Soekarno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan saran, mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kiai kelahiran Jombang 1888 ini memberi sarannya kepada Bung Karno, untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, di karenakan sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam di sunahkan bersilaturrahmi.
Saran KH. Wahab Chasbullah di jawab oleh Bung Karno, jika Silaturrahmi itu adalah hal yang biasa, ia menginginkan istilah yang lain .Dalam diskusi tersebut KH.Wahab Chasbullah kemudian menguraikan maksud dari saranya.
Di anggapnya jika para elit politik yang tidak mau bersatu karena mereka saling menyalahkan. Padahal dalam agama saling menyalahkan itu dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi memakai istilah ‘Halal bi Halal’”, jelas KH. Wahab Chasbullah pada waktu itu.
Dari saran KH. Wahab Chasbullah, pada Hari Raya Idul Fitri kemudian Bung Karno mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara, menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’, dan mereka semua akhirnya bisa duduk dalam satu meja menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu instansi-instansi pemerintah mulai menyelenggarakan ‘Halal bi Halal’ yang akhirnya diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa yang banyak menjadi pengikut para ulama./ Jud