KORANJURI.COM -Perayaan Sekaten yang di gelar tiap tahun oleh Kraton Kasunanan Surakarta pada bulan Mulud dalam penanggalan Jawa, dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad S.A.W. Pada masanya tradisi ini dipakai para wali dalam rangka melakukan siar Islam. Perayaan yang di mulai pada masa kejayaan Sultan Syah Akbar Jumbun Sirullah Brawijaya atau Raden Patah di Demak ini, di gelar tak lama setelah pembangunan masjid Demak pada tahun 1403 Saka.
Selain sebagai peringatan hari kelahiran Nabi besar Muhammad S.A.W, tradisi ini sekaligus di pakai para wali dalam berdakwah. Dari sinilah bunyi gamelan mengawali perayaan Sekaten sebagai salah satu gamelan pemanggil umat pada masanya.
Perayaan Sekaten yang di gelar selama sepekan ini di tandai dengan ‘ ungele’ atau turun-nya dua buah gamelan pusaka milik Karaton Surakarta yang di tabuh di bangsal mangiwa dan manengen masjid Agung Surakarta, di sisi sebelah utara dan selatan. Kedua Gemelan yang di ambil dari bangsal Sitihinggil Karaton Surakarta Hadiningrat tersebut yakni Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu. Keduanya di tabuh selama sepekan sebagai pertanda dimulainya pekan perayaan Sekaten.
“ Kedua gemelan ini tak sembarangan di pergunakan “ Jelas KRA. Drs. Sapto Diningrat M Hum, salah satu abdi dalem Kraton Solo
Lebih lanjut abdi dalem karaton Surakarta ini mengatakan, kedua Gamelan yang dipergunakan sebagai pengiring Sekaten merupakan gamelan yang di wariskan sejak turun temurun sebelum Mataram Islam di Surakarta dan Jogjakarta. Kedua Gamelan ini lantas di bagi menjadi dua, pasca perjanjian Giyanti setelah terbaginya dua pewaris tahta Mataram Islam di tanah Jawa, Surakarta dan Jogjakarta.
Sekaten tidak hanya dijadikan sebagai salah satu upacara tradisi yang sudah ada secara turun temurun sejak jaman dahulu, tetapi tradisi ini sekaligus sebagai bentuk wujud rasa syukur Kraton beserta seluruh lapisan masyarakat atas berkah rahmat dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Perwujudan rasa syukur tersebut di lakukan dengan cara menggelar gunungan di akhir puncak perayaan Sekaten, atau yang biasa dikenal dengan nama grebeg Mulud.
Gunungan Sekaten yang terdiri dari rangkaian hasil bumi ini menjadi salah satu sarana penyampaian wujud rasa terima kasih kepada Tuhan Sang Maha Pencipta, keduanya di wujudkan dalam bentuk dua buah gunungan laki laki dan perempuan, serta dua buah gunungan kecil yang diwujudkan sebagai gunungan anak-an.
Gunungan ini diperebutkan oleh masyarakat yang sudah menanti selama sepekan sebagai bentuk ritual ngalap berkah. Namun sebelum pelaksanaan rebutan gunungan dilakukan, para ulama karaton lebih dulu memanjatkan doa, dengan harapan agar bangsa dan negara di jauhkan dari segala mara bahaya, bencana dan pagebluk, serta di murahkan rejekinya untuk seluruh masyarakat.
Dua gamelan yang diletakan di bangsal masjid agung, di sisi sebelah selatan yakni gamelan pusaka Kyai Guntur Sari. Gamelan pusaka ini di bunyikan pertama kali dengan laras gending ‘Rambu ‘ yang artinya ‘Rabbuna’ , memiliki arti Allah yang aku sembah. Sedangkan Kyai Guntur Madu yang berada disisi utara mengawali gending yang pertama kali dengan laras gending ‘ Rangkung’, yang berasal dari bahasa arab ‘ Raukhun” yang juga memiliki arti jiwa yang agung.
Hal terpenting yang bisa di petik dari pelaksanaan Sekaten ini yakni, untuk ‘Rahmatan lil’alamin’, kesejahteraan untuk seluruh alam semesta. Meluruskan yang bengkok serta membenarkan yang keliru dan memberi cahaya bagi kegelapan. Ungkapnya
Gamelan pusaka milik kraton yang di bunyikan pada jaman para wali ini gending suaranya mampu menggetarkan hati siapa saja orang yang mendengarnya. Bahkan di yakini suara yang keluar dari kedua gamelan pusaka tersebut bisa didengar dari jarak puluhan kilometer. Oleh karena itu setiap kali gamelan pusaka Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu di tabuh, masyarakat akan berbondong bondong mendatanginya. /Jud