KORANJURICOM-Manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan harus menyadari betapa pentingnya keselarasan hidup di alam semesta ini.
Keselarasan sudah menjadi kodrat Gusti Kang Murbeng Dumadi, jika segala kehidupan di alam semesta harus ada keseimbangan yang di tentukan oleh alam. Kebaikan akan ada keburukan sebagai penyeimbang., kejelekan akan ada keburukan.
Kodrat seperti itu menjadi satu keseimbangan yang harus ada di dalam kehidupan umat manusia. Suatu kebaikan yang berlebihan tak akan mungkin menjadikan sebuah kebaikan menjadi semakin lebih baik lagi, begitupun hal buruk,, jika berlebih akan mengakibatan retaknya keseimbangan alam semesta.
Karena yang dipandang buruk bagi manusia, belum tentu buruk bagi mahkluk hidup lainya. Oleh karena itu keseimbangan alam harus tetap terjaga .S
Dan untuk menjaganya, tradisi sesaji mahesa lawung menjadi cara menjaga keselarasan tempat keramat para jin, siluman dan mahkluk ghaib lainya agar tak menggangu kehidupan di alam semesta.
Penumbalan sesaji kepala kerbau di hutan krendawahana merupakan sesaji yang di peruntukan kepada Batari Kalayuwati, putri Batari Durga yang mendiami alas krendawahana. jelas Darsono, juru kunci hutan krendawahono
Di katakan, selain kepala kerbau juga ada jajan pasar, ayam ingkung , ikan lele, satu kepala kerbau, empat kaki kerbau serta rangkaian daging kerbau yang telah di masak dalam berbagai rupa, dupa kemenyan, wewangian dan arak yang disiramkan ke semua daging daging sesaji yang masih mentah.
Hampir seluruh sesaji imbuh Darsono, semuanya daging mentah. Ikan lele yang berada di dalam wadah kendil yang terbuat dari tanah liat serta daging ayam seluruhnya mentah. Setiap satu sesaji daging mentah disiram dengan menggunakan arak agar tak menimbulkan bau amis.
Tak terkecuali kepala kerbau yang masih utuh juga di siram dengan menggunakan arak .
Persembahan sesaji yang telah dilakukan sejak ribuan tahun yang silam ini merupakan satu keharusan bagi umat manusia untuk menghormati dan menghargai seluruh mahkluk ciptaan Tuhan, agar selalu selaras dan terjaga keharmonisasi-nya.
Upacara sesaji mahesa lawung sudah di lakukan sejak jaman Prabu Sitawaka dari Gilingaya, namun sampai sekarang masih terus berlanjut demi keseimbangan alam semesta..
Upacara tradisi ini di gelar pertama kali setelah kerajaan Gilingaya di terpa pagebluk yang menyebabkan kerajaan resah.
Oleh Brahmana Radhi yang menjadi utusan Prabu Sitawaka di tunjuk untuk mencari jalan keluar mengatasi pagebluk.
Maka di tahun 387 yang di tandai dengan Candra Sengkala Pujaning Brahmana Guna. Brahmana Radhi menggelar sesaji Mahesa Lawung.
Seluruh pagebluk yang menimpa kerajaan dan penduduk Gilingaya akhirnya sirna. Tradisi ini akhirnya berlanjut sampai pada masa Majapahit , Demak hingga Mataram Islam di tanah Jawa.
Oleh karena itu rangkaian doa yang dipanjatkan pada saat upacara,dilakukan menggunakan dengan tiga doa dari tiga keyakinan yaitu, Budha, Jawa dan arab./Tk