KORANJURI.COM-Salah satu tempat wingit di Pacitan yang sampai sekarang masih terus di keramatkan adalah Gunung Lima. Bagi masyarakat Pacitan, Gunung Lima tidak saja menjadi ikon dan pengayom kota Pacitan, namun Gunung Lima memiliki sejarah awal mula berdirinya Pacitan. Banyak cerita mistis di Gunung Lima yang sampai sekarang masih terus di yakini oleh warga masyarakat Pacitan. Keberadaan dusun dusun di lereng Gunung Lima juga di kenal sebagai kampung para jawara yang melahirkan pesilat tangguh ber ilmu kebal.
Para jawara dug-deng di lahirkan tiap tahun sekali pada saat tradisi bersih desa di Gunung Lima.
Dusun Mantren adalah dusun terdekat dengan puncak Gunung Lima. Dari dusun ini para pelaku ritual biasanya melakukan pendakian ke atas puncak Gunung Lima. Terdapat jalur khusus pendakian yang di buat oleh penduduk desa bagi para pelaku ritual yang ingin mendaki ke atas puncak Gunung Lima. Akses tersebut biasanya juga di pakai oleh penduduk desa pada saat perayaan tradisi bersih desa ‘ Tetaken’ berlangsung.
‘Jalur pendakian masih berupa jalan tanah liat di tengah hutan,’ Terang Jumino, salah satu warga Dusun Mantren
Menurut keterangan Jumino, di bagian bawah jalur pendakian sepanjang kurang lebih dua puluh meter sudah dibangun dengan bahan material cor semen.
‘ Sumbangan salah satu calon kepala daerah Pacitan yang maju dalam Pilkada Pacitan tahun 2015.’ Imbuhnya
Gunung Lima adalah gugusan puncak gunung yang berjejer lima puncak di sisi sebelah timur selatan Kota Pacitan. Rata rata ketinggian puncak gunung tersebut kurang dari 1000meterDpl. Dari Kota Pacitan, gunung lima tampak sangat jelas menjulang ke angkasa. Kelima gunung tersebut adalah Gunung Gembuk, Gunung Pakis Cakar, Gunung Lanang, Gunung Kukusan, dan Gunung Lima yang berada di Desa Mantren. Meski masing masing gunung memiliki nama sendiri sendiri, namun gugusan gunung tersebut lebih di kenal dengan nama Gunung Lima.
Sedangkan Gunung Lima melekat pada nama gunung yang ada di Desa Mantren. Diakui oleh penduduk desa, Gunung Lima di yakini angker dan sakral. Warga beralasan, Gunung Lima kawasan suci tempat bersemayamnya para leluhur.
Dipercaya, akses jalan menuju puncak Gunung Lima tidak semua orang mampu mendakinya. Hanya mereka yang bersih hatinya dan tulus niatnya bisa mendaki ke atas puncak Gunung Lima. Selain jalur pendakian vertikal, keteguhan tekad menjadi faktor paling utama bagi para pendaki mampu mencapai puncak Gunung Lima.
Tiap tahun sekali warga menggelar upacara tradisi bersih desa ‘Tetaken’, yang di gelar tiap malam lima belas sura. ‘ Tetaken’ di laksanakan dalam rangka mengucapkan wujud rasa syukur pengayoman para leluhur dari Gunung Lima.
Para pengunjung yang mendaki ke atas puncak Gunung Lima kebanyakan adalah pelaku ritual. Karena gunung tersebut memang bukan untuk para pecinta alam, tetapi lebih sebagai tempat untuk menjalani laku ritual. Medan pendakian puncak Gunung Lima memang sangat berat sekali, jalan menanjak dengan kemiringan lebih dari empat puluh lima derajat.
Kemiringan tebing yang sangat curam, seringkali menyulitkan para pelaku ritual mendaki ke atas puncak Gunung Lima. Belum lagi jalur pendakian saat mendekati Sela Manangkep dengan kemiringan vertical semakin menyulitkan pelaku ritual naik ke atas puncak gunung. Di jalur pendakian vertical, pendaki harus berpegang akar pohon yang menjulur kebawah sebagai alat bantu pendakian.
Puluhan meter tali plastic di ikatkan di sepanjang jalur pendakian oleh penduduk sebagai alat bantu pendakian.

‘ Jalur pendakian ini oleh warga di sebut jalur pendakian ondo rante.’ Terang Jumino.
Dari pengakuan Jumino, sulitnya jalur pendakian ke puncak Gunung Lima merupakan batu ujian keteguhan tekad. Oleh karena itu jika tidak siap mental dan bathinya, di pastikan orang tersebut tidak akan mampu mencapai tujuanya. Suasana alam di sepanjang jalur pendakian hening, hanya dipenuhi lebatnya daun pepohonan.
‘ Di ujung jalur pendakian, pelaku ritual akan berada di Sela Metangkep’ Kata Jumino, pria yang keseharianya merambah kayu bakar di Gunung Lima.
Di sebut dengan nama Sela Metangkep, karena posisi dua buah batu yang berhimpitan, di tengah tengahnya terdapat celah untuk akses pelaku ritual naik ke atas puncak Gunung Lima. Celah batu tersebut merupakan pintu masuk, sekaligus jalan penguji kebersihan hati mereka yang ingin menjalani laku ritual. Meski rongga batu Sela Metangkep terlihat sempit, tetapi orang yang bertubuh gendut sekalipun bisa masuk melewati Sela Metangkep, jika hati dan pikiranya bersih.
Tak sedikit pelaku ritual harus mengurungkan niatnya naik ke atas puncak Gunung Lima, karena tidak bisa melewati sela metangkep. Pelaku ritual yang berhasil melewati Sela Metangkep kemudian melanjutkan tujuanya ke tempat pertapaan Ki Ageng Tunggul Wulung. Pertapaan Ki AgengTunggul Wulung berada di dalam goa yang dikeramatkan. Tak sembarang orang berani masuk kedalam goa jika tidak ada keperluan atau saat menggelar tradisi “Tetaken” .Bagi masyarakat Pacitan, nama Ki Ageng Tunggul Wulung tak asing lagi di telinga mereka.
Di kisahkan, Ki Ageng Tunggul Wulung adalah panglima kepercayaan Prabu Brawijaya V yang di beri mandat mengawal dan menjaga sang Prabu. Dalam legenda Gunung Lima di ceritakan, pada masa kejayaan Majapahit, Prabu Brawijaya V menikahi seorang puteri dari negeri Champa. Terdapat satu kepercayaan , siapapun raja tanah Jawa yang menikahi puteri dari Champa maka ia akan mengalami kejatuhan tahta .
Prabu Brawijaya meyakini kepercayaan itu, oleh karenanya, beliau menyiapkan seorang pengawal khusus untuk berjaga-jaga bila hal itu menjadi kenyataan. Salah seorang pengawal yang dipersiapkan untuk menjaganya adalah Ki Ageng Tunggul Wulung. Guna memperdalam ilmu kesaktianya, Prabu Brawijaya menyuruh Ki Tunggul Wulung bertapa di Gunung Lawu. Bertepatan saat itu, Islam masuk ke tanah Jawa lewat pesisir utara.
Karena tidak mau memeluk Islam, ketiga saudara Ki Tunggul Wulung yang bernama Ki Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso akhirnya melarikan diri ke daerah selatan atas petunjuk gurunya. Dalam petunjuk tersebut sang guru berpesan pada ketiga orang muridnya ,
“Berjalanlah kalian selama 40 hari, dan setelah mencapai tempat yang tinggi lihatlah kearah bawah. Bila kalian melihat tempat yang datar tempat itulah yang dinamakan “Alas Wengker Kidul”.
Usai memperoleh petunjuk, ketiganya lantas melakukan perjalanan. Sesampainya di Wengker Kidul, perjalanan dibagi menjadi tiga bagian. Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.’.
Tak lama setelah Brawijaya V menikahi putri dari Champa, Majapahit akhirnya runtuh dalam huru-hara besar, Ki Tunggul Wulung yang mencoba mengatasi pemberontakan tak mampu memadamkannya. Sampai akhirnya Ki Ageng Tunggul wulung memutuskan mencari tiga orang saudara seperguruannya dengan meminta petunjuk dari sang Guru. Akan tetapi pada saat Ki Tunggul Wulung bertemu dengan gurunya, kondisinya sakit kritis. Detik detik terahkir sebelum sang guru wafat beliau berpesan, agar Ki Tunggul wulung menggali makam gurunya dengan tongkatnya.
Setelah mengantar sang guru ke peristirahatan terakhir, Tunggul Wulung kemudian melanjutkan perjalanan mencari ketiga orang saudaranya. Dalam pencarian, sampailah ia di Gunung Lima. Dari Gunung Lima Ki Tunggul Wulung melihat puncak gunung lain, yang kemudian di kenal dengan nama Gunung Lima. Di Gunung Lima Ki Tunggul Wulung membuka lahan, membangun peradaban di wengker kidul dan beralih menjadi seorang pertapa.
Oleh karena itu tidak mengherankan, jika masyarakat wengker kidul beranggapan, Ki Tunggul Wulung sebagai cikal bakal mereka. Untuk menghormati jasa dan peranya, setiap malam lima belas sura penduduk desa di sekitar Gunung Lima menggelar tradisi adat’ Tetaken’.
Ritual ‘ Tetaken’ adalah upacara bersih desa yang menjadi agenda wisata tahunan Pemerintah Kabupaten Pacitan. Dalam ritual tersebut di gambarkan, juru kunci Gunung Lima turun gunung bersama dengan murid muridnya usai menjalani laku tapa brata di puncak Gunung Lima. Untuk menyambut turunya para pertapa di tengah tengah masyarakat, warga beserta para jawara mengawal panji kebesaran Tunggul Wulung dan beberapa pusaka tosan aji seperti keris dan tombak pusaka yang pernah di wariskan oleh Ki Tunggul Wulung.
Sebelum upacara penyambutan para pertapa di lakukan, lebih dulu warga menggelar unjuk kebolehan tanding ilmu silat dan kanuragan para jawara asal Dusun Mantren. Selama unjuk kebolehan, jawara yang mampu mempertahankan sorban hitam Tunggul Wulung di kepalanya, maka ia berhak menyandang pendekar pilih tanding dari Gunung Lima.
Dalam unjuk kebolehan tersebut tidak hanya di khususkan bagi para jawara dari Gunung Lima, tetapi para tamu juga di perbolehkan turut andil dalam unjuk kebolehan ilmu kanuragan, asalkan sudah siap dan matang budi pekertinya. Dalam pertandingan ini, seorang tokoh tetua akan di tunjuk sebagai pengawas pertandingan, agar para jawara patuh dan taat pada aturan.
Menurut Jumino, Tradisi ‘Tetaken’ berasal dari kata Teteki atau bertapa. Sebuah laku semedi yang kerap di lakukan warga masyarakat di sekitar Gunung Lima saat penanggalan memasuki pertengah bulan sura. Tradisi tersebut sebagai upaya wujud rasa syukur masyarakat Gunung Lima kepada Tuhan Yang Maha Esa, alam semesta dan para leluhur. Dengan cara Teteki atau bertapa, manusia serasa semakin dekat dengan alam semesta, menyatu dengan Sang Maha Pencipta sehingga rasa ikhlas menerima senantiasa akan selalu ada di dalam diri manusia. Karena hanya dengan rasa iklhas, umat manusia mampu memaknai kebersamaan antar sesama mahkluk hidup di alam semesta ini.
‘ Dari istilah Teteki yang memiliki makna bertapa, akhirnya di kenal dengan nama‘Tetaken’ Terang Jumino.
Di kenalnya Gunung Lima sebagai desa para jawara tak lepas dari peran Ki Tunggul Wulung.
Sebagai pengawal kepercayaan Prabu Brawijaya, di pastikan Ki Tunggul Wulung memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sejak menetap di Gunung Lima, Ki Tunggul wulung mengabdikan hidupnya kepada masyarakat yang membutuhkan pertolongan, sekaligus mengajarkan ilmu kanuragan kepada para pemuda desa.
Dari hasil olah didiknya, lahirlah para jawara jawara dari Gunung Lima. Pada proses upacara tradisi ‘Tetaken’, di gelar juga pendadaran murid murid perguruan silat dari Desa Mantren. Satu persatu murid murid dari Gunung Lima di beri minum air legen yang sudah di beri mantera dan doa. Setelah memimun air legen, satu persatu para siswa dari Gunung Lima di uji kemampuanya dengan senjata tajam atau dengan cambukan.
Ujian ini sebagai simbol, bahwa dalam menegakan kebenaran segala halangan dan rintangan adalah sesuatu yang harus di hadapi. Untuk itu, keteguhan, kekuatan lahir dan bathin, rohani dan jasmani hendaknya menjadi pegangan bagi para siswa dari Gunung Lima saat mereka mengemban amanah menegakan kebajikan di tengah tengah masyarakat.
Bagi warga desa sendiri, air legen menjadi simbol keseharian penduduk desa yang menggantungkan hidup dari hasil mencari nira di dalam hutan. Tradisi ini sekaligus menyiratkkan, betapa winasisnya Ki Tunggul Wulung dalam mendidik para siswa siswanya. Tidak saja ilmu kesaktian, tetapi ilmu bathin juga ia turunkan kepada para murid muridnya. Agar kelak mereka menjadi orang yang berbudi luhur, berbakti kepada bangsa dan negara./ jk